Sebuah Video Guru SMA Banting Muridnya Apa Penyebabnya
Seorang guru yang membanting siswanya di sebuah SMA di Bojonegoro telah mendapat sanksi berupa skorsing ngajar selama 3 bulan. Beginilah cerita di balik kejadian tersebut. Apa yang membuat sang guru begitu emosi sehingga mencekik leher siwanya. Guru yang berujung pada siswa yang tak terima dan melabrak gurunya. Pada akhirnya sang guru membanting siswanya. Pada saat itu ada pelajaran Bimbingan Kesiswaan di kelas X. Seorang guru memanggil salah satu siswa ke depan kemudian dinasihati, ujar Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di Bojonegoro Adi Prayitno kepada wartawan, pada hari Selasa.
Seorang siswa tersebut, kata Adi, dipanggil ke depan karena sering tidak mengikuti kegiatan pramuka yang merupakan kegiatan ekstra kurikuler wajib. Selain itu, siswa tersebut juga berambut gondrong. Saat dinasihati, lanjut Adi, terjadi sedikit perdebatan. Rupanya guru berinisial AS ini emosi saat didebat yang membuatnya mencekik leher si siswa. Seorang siswa yang tak terima justru berbalik menantang gurunya. Yang terjadi kemudian adalah dorong-dorongan dan mereka saling bergumul. Dalam pergumulan itu, guru AS membanting siswanya. Siswa lain kemudian datang dan melerai.
Jadi anaknya itu dipanggil ke depan terus duduk di kursi guru. Ya memang anaknya rada dablek. Tapi yang namanya anak ya tetap anak kata Adi. Pak Adi mengaku persoalan ini sudah diselesaikan secara kedinasan. Guru AS yang masih berstatus honorer itu mendapat sanksi berupa skorsing mengajar selama 3 bulan. Selama itu, guru AS akan mendapat pembinaan. Peristiwa seorang guru yang membanting siswanya di ruang kelas diakhiri dengan sanksi untuk guru. Tenaga honorer itu tidak boleh mengajar selama tiga bulan, sedangkan siswa yang dibanting dilindungi sampai lulus.
Pada hari Selasa kemarin, sebuah video berdurasi 27 detik menjadi viral di jejaring media sosial internet. Isinya adalah rekaman peristiwa pembantingan di dalam kelas itu. Usut punya usut, peristiwa yang terekam itu terjadi di SMU Negeri 1 Tambakrejo, Bojonegoro, Jawa Timur. Saat kejadian itu dilakukan oleh oknum guru GTT (guru tidak tetap) yang mengajar bimbingan kesiswaan (BK), ujar Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jatim di Bojonegoro Adi Prayitno kepada wartawan, pada hari Selasa.
Seorang guru berinisial AS itu telah mengajar selama setahun. Konteks peristiwa itu adalah siswa yang sering tidak mengikuti kegiatan Pramuka, padahal kegiatan itu adalah ekstrakurikuler wajib. Selain itu, Adi menyebut, siswa itu berambut gondrong. Maka dinasihatilah siswa itu di depan kelas oleh si guru. Jadi anaknya itu dipanggil ke depan terus duduk di kursi guru. Ya memang anaknya rada dablek. Tapi yang namanya anak, ya, tetap anak, kata Adi. Seorang siswa mendebat guru yang menasihati itu, namun sikap siswa itu membuat guru emosi dan mencekik leher sang siswa. Sang siswa tidak terima, dan akhirnya terjadi duel berujung bantingan yang dilakukan guru terhadap siswa. Para siswa-siswa lain yang melihat duel itu kemudian melerai.
Dikatakan Adi, peristiwa itu sudah diselesaikannya. Guru divonis bersalah oleh pihak institusi pendidikan yang menaunginya. Sang guru diberi sanksi skorsing, tidak boleh mengajar selama tiga bulan. Surat skorsing diproses. Si guru itu akan diberi pembinaan supaya kepribadiannya berubah. Sesudah kami selesaikan secara kedinasan. Sudah kami beri sanksi gurunya. Sudah saya skorsing ini. Apa pun yang dilakukan oleh guru tersebut salah sebagai seorang pendidik. kata Adi. Sedangkan si siswa yang dibanting guru itu tidak mendapat sanksi. Siswa yang terlibat kejadian itu tetap dilindungi agar tetap bersekolah dan belajar hingga lulus. Untuk siswanya kami lindungi agar sekolah sampai lulus, kata Adi.
Guru berinisial AS yang membanting muridnya dikenai sanksi skors dilarang mengajar selama tiga bulan. Menurut pemerhati pendidikan, sanksi itu kurang berat. Kejadian pembantingan siswa oleh guru honorer pengampu bimbingan kesiswaan (BK) terjadi di SMA Negeri I Tambakrejo, Bojonegoro, Jawa Timur. Menurut Kepala Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur di Bojonegoro, Adi Prayitno, siswa yang dibanting itu memang dablek alias sulit dinasihati.
Insiden berawal ketika murid dinasihati guru berinisial AS di depan ruang kelas. Sisiswa itu dipanggil karena sering tidak ikut kegiatan Pramuka dan berambut gondrong. Namun, saat dinasihati, siswa laki-laki itu menjawab gurunya. Siguru emosi dan mencekik leher siswa tersebut. Sisiswa tidak terima, terjadilah dorong-dorongan. Saat duel ini dipungkasi dengan bantingan guru terhadap siswa.
Sang guru seharusnya lebih bijak dalam menghadapi masalah. Kalau guru emosional, bagaimana mungkin murid mengeluhkan masalahnya ke guru? Guru itu seharusnya juga menjadi tempat curhatnya murid-murid, maka dia perlu punya kematangan jiwa, kata pemerhati pendidikan, Darmaningtyas, berpendapat, pada hari Rabu. Adapun soal sikap siswa yang dablek, nakal, atau bengal, itu tidak lantas menjadi pembenaran untuk guru melakukan kekerasan terhadap siswa, misalnya mencekik. Perlu ditelisik latar belakang bagaimana anak itu menjadi agresif, dan upaya ini hanya bisa berhasil bila dilakukan lewat dialog tanpa emosi, tanpa cekikan, dan tanpa bantingan. Lewat penelitiannya, Darmaningtyas mendapati banyak siswa-siswa agresif berlatar belakang yatim-piatu semua, yakni mereka yang secara formal punya orang tua namun hidup bukan dengan orang tua kandung. Atau bisa pula siswa-siswa itu berasal dari lingkungan yang keras, atau keluarga yang sudah bercerai dan tak lengkap lagi.
Penulis buku Pendidikan Rusak-rusakan ini percaya, murid dablek bisa ditangani dengan kelembutan. Tentu anak itu merasa tersinggung bila dinasihati di depan siswa-siswa lain di dalam kelas. Maka guru perlu bijaksana. Kalau menangani satu siswa, jangan di depan siswa-siswa lain. Dia harus dipanggil ke ruang BP, diajak bicara, dicari tahu apa masalahnya. Kalau dinasihati di depan murid-murid yang lain tentu saja anak itu malu, kata Darmaningtyas.
Dia merujuk pada informasi bahwa siswa di Bojonegoro itu dinasihati di depan kelas sebelum akhirnya terjadi insiden bantingan. Menurut dia, tak ada pembenaran penggunaan cara-cara kekerasan untuk menangani siswa. Negara-negara maju, memegang fisik siswa bahkan tidak boleh dilakukan karena dianggap bagian dari kekerasan. Kini, kultur pendidikan sudah menjauh dari kekerasan. Guru-guru juga perlu menyesuaikan diri dengan zaman dan tak bisa lagi menerapkan cara-cara lama dalam mengajar siswa.
Menurutnya, pembantingan itu sudah menunjukkan bahwa guru tidak bisa mengendalikan emosi dalam menunaikan kewajibannya. Maka sanksi tiga bulan tidak mengajar dirasanya tidak cukup untuk membayar kesalahan tersebut. Skorsing tiga bulan tidak cukup. Menurut saya, mending dipecat karena dia tidak pantas jadi guru, kata Darmaningtyas. Segitiga Kasih Sayang Guru-Murid. Relasi antara guru dan murid digambarkan berbentuk segitiga. Relasi pendidikan ini terdiri atas guru-murid-pengetahuan. Dua titik dari guru dan murid terhubung ke atas, yakni ke titik pengetahuan. Dua titik dari guru dan murid terhubung secara mendatar.
Relasi ini harusnya relasi afektif berdasarkan kasih sayang. Perlu ditelisik, apakah anak tidak puas dengan relasi ini, kata pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Jimmy Philip Paat, menanggapi peristiwa yang viral lewat media sosial internet itu. Master sosiologi pendidikan ini menekankan pentingnya aspek saling percaya yang mendasari relasi guru dan murid. Dia menduga ada rasa saling tidak percaya antara guru dan murid yang memicu kekerasan di antara keduanya. Bagaimanapun, cara-cara kekerasan tidak boleh dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh guru.
Bagaimana cara kekerasan saya sebut primitif, tidak dibenarkan. Bagaimana terjadi relasi yang baik bila ada kekerasan? Relasi guru dan murid ini harus afektif, kata Jimmy. Dia percaya anak nakal bisa ditertibkan tanpa kekerasan, syaratnya adalah relasi antara guru dan murid dilandasi rasa kasih sayang afektif. Indikator keberhasilan relasi guru-murid adalah munculnya rasa saling percaya. Bila siswa sudah sering mencurahkan isi hatinya atau menceritakan masalahnya ke guru secara sukarela, itu tanda siswa sudah punya kepercayaan ke gurunya. Kasus seperti ini terjadi karena relasi pedagogis tidak terbangun, kata Jimmy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar