Populasi Ikan Predator Hiu Sedang Kritis Larangan Mulai Diberlakukan
Saat berkunjung ke Pasar Muara Angke terlihat hiu-hiu berukuran kecil yang dijajakan di sudut Pasar Muara Angke. Dari sisi lain, populasi hiu di lautan Indonesia sedang memasuki tahap kritis. Saat dilihat di sudut Pasar Ikan Muara Angke, Jakarta Utara, pada hari Selasa sore, hiu-hiu kecil ada di baskom pedagang. Dari pedagang ada yang bercampur dengan jenis ikan lainnya, ada pula belasan ekor yang berkumpul bersama hiu-hiu kecil lain.
Sebutan predator lautan itu berwarna abu-abu, sirip masih menempel di tubuhnya. Hiu-hiu yang dijual paling besar ukurannya sepanjang lengan bawah orang dewasa. Dengan harga Rp 30 ribu sekilo, kata pedagang yang menjaga hiu-hiu kecil ini. Itu bernama baby shark, kata Bycatch & Shark Conservation Coordinator WWF Indonesia, Dwi Ariyoga Gautama, dengan prihatin.
Bang Yoga mengidentifikasi hiu itu sebagai Carcharhinus melanopterus, dikenal sebagai blacktip reef shark, biasa hidup di perairan berkarang. Saat ini saya khawatir malah didapat dari daerah karang terdekat, seperti Kepulauan Seribu, ujarnya. Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) memberi status hiu jenis itu 'Near Threatened' atau terancam punah dalam waktu dekat. Ancaman datang dari aktivitas perikanan. Populasi hiu Carcharhinus melanopterus mengalami penurunan.
Para nelayan dan perajin juga tidak salah karena Carcharhinus melanopterus bukan termasuk hiu yang dilindungi di Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga 22 Mei 2018 menyatakan belum memiliki status perlindungan. Hiu jenis ini masih terus ditangkap dan dijual di pasar. Dari tempat pengolah hiu di Jakarta, di sentra pengolahan ikan asin Kalibaru Barat, Cilincing, Jakarta Utara, hiu dijadikan ikan asin. Pada hari Rabu sekitar pukul 15.00 WIB, sebuah mobil pikap tiba dan mulai membongkar muatan ikan-ikan berukuran besar. Para pekerja dari dalam gang pun mulai berdatangan, mencoba merapikan dan memindahkan ikan-ikan yang baru saja datang tersebut ke dalam gang.
Dari penampungan terdapat beberapa potongan hiu. Ukurannya yang besar membuatnya ditaruh di tumpukan paling bawah di mobil tersebut. Wartawan pun memastikan apakah ikan tersebut merupakan ikan hiu dengan bertanya kepada salah satu pekerja yang sedang duduk. Itu ikan hiu dan talang-talang, ujar pekerja tersebut. Bapak Sodikin (40), pemilik usaha pengolahan ikan asin, mempunyai spesialisasi mengolah ikan-ikan besar, hiu hanyalah salah satunya. Waktu saya memulai belajar ikan hiu itu dari harga Rp 3.000 per kg dulu, sampai sekarang harganya sudah Rp 20-30 ribu per kg. Berbagai jenisnya beda-beda, yang namanya ikan hiu kan banyak. Ada berapa macam itu, mulai hiu martil, hiu gepeng, hiu moro, hiu super, hiu kikir, hiu gelembung, semua beda-beda jenis, kata dia.
Bapak Sodikin membeli hiu dalam kondisi mati dengan isi perut yang sudah tidak ada. Dari hasil olahan hiu yang sudah diasinkan itu dijualnya lagi ke pengepul seharga Rp 30-35 ribu per kg. Bapak Sodikin tidak tahu hasil olahannya itu dipasarkan di dalam negeri atau diekspor ke negara lain. Dia paham ada beberapa jenis hiu yang dilarang ditangkap dan diekspor. Namun akan menjadi sulit diidentifikasi jenis hiu apa gerangan yang mendarat di pelabuhan bila kepalanya sudah hilang.
Kata Pak Sodikin sejak ada larangan, peraturan-peraturan, orang Dinas bilang, Ini ikan hiu yang berbentuk seperti ini nggak boleh ditangkap, karena hampir punah. Nanti ada lagi perubahan, boleh ditangkap tapi nggak boleh buat ekspor. Kan bingung. Nelayannya bingung, pengolahnya juga. Nanti misalnya mau beli ikan hiu, saya kan belinya dalam keadaan sudah nggak ada kepala, nggak tahu ini ikan hiu yang dilarang atau bukan, tutur Sodikin.
Dari pojokan Gang Musala At-Taubah, ada bapak Herman (40) yang juga merupakan pemilik usaha pengolahan ikan. Sama seperti Sodikin, dia hanya menerima ikan-ikan yang mendarat, yakni di Muara Baru, dan setelah itu dia kerjakan dengan mengolah tangkapan itu menjadi ikan asin. Bapak Herman merasa saat ini harga hiu tangkapan kelewat tinggi, yakni Rp 27 ribu per kg. Dia tak kuat bila beli banyak-banyak. Bapak Herman biasanya, yang beli adalah pengecer yang langsung menjual ikan basah di pasar. Namun biasanya dia bisa mendapat harga lebih miring, yakni Rp 22 ribu per kg.
Nunggu kalau ada orang pesan lagi, baru belanja lagi. Intinya begini, kalau ada permintaan, ya saya beli lagi, kata Herman. Bagaimana nasib ikan hiu di lautan? Ikan hiu adalah predator teratas di laut, punya peran menjaga keseimbangan ekosistem di laut. Yoga dari WWF Indonesia menjelaskan, populasi hiu di Indonesia mengalami penurunan. Dia menyitir keterangan dari IUCN, 30 persen dari 114 spesies sudah terancam punah. Produksi hiu nasional dari tahun 2000 hingga 2014 cenderung mengalami penurunan sebesar 28,30 persen.
Ikan hiu sering diburu siripnya dan dibiarkan mati tanpa bisa berenang karena kehilangan sirip. Pada daging hiu juga diperdagangkan. Pada perburuan hiu juga didorong oleh permintaan ekspor. Ikan hiu sering menjadi tangkapan sampingan bycatch atau secara tidak sengaja terangkut jaring nelayan. Hal-hal seperti itu membuat populasi hiu berkurang, di sisi lain hiu termasuk lambat bereproduksi. WHO menyebut Indonesia sebagai produsen produk hiu terbesar di dunia dan menjadi negara nomor tiga di dunia dalam hal besarnya nilai produk hiu yang dikirim ke China dan Hong Kong pada 2012. WWF Indonesia menghimpun data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia.
Soal perlindungan terhadap hiu, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP menjelaskan hanya satu jenis hiu yang sudah berstatus dilindungi penuh, yaitu hiu paus (Rhyncodon typus). Keempat jenis hiu lainnya, yaitu hiu koboi (Carcharhinus longimanus) dan tiga jenis hiu martil (Spyhrna lewini, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokarran) termasuk yang dilarang ekspor melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 5 Tahun 2018. Ada pula delapan jenis hiu yang masuk CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam), yang artinya pemanfaatan untuk perdagangan luar negerinya diperbolehkan, tapi dengan aturan ketat.
Penetapan status perlindungan ikan hiu tentunya harus dilakukan secara bijaksana dan berdasarkan prinsip kehati-hatian, karena menyangkut sosial dan ekonomi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang menjadikan ikan hiu sebagai tangkapan utama Tanjung Luar-NTB dan konsumsi lokal Aceh, Toraja karena murah dagingnya. Kehati-hatian itu berarti kekayaan alam Indonesia seperti ikan hiu dan pari boleh kita manfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakatnya, namun dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga ikan hiu itu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, demikian keterangan pers dari Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP sebagaimana tertera di situs resminya.
Bycatch & Shark Conservation Coordinator WWF Indonesia Dwi Ariyoga Gautama berharap pemerintah memperluas cakupan jenis-jenis hiu yang perlu diatur supaya tidak punah. Kami menyarankan agar pemerintah mengatur jenis-jenis hiu yang terancam punah. Ini urgen dalam mengatur lebih banyak hiu yang masuk kategori terancam punah, kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar